Peran Keluarga, Lembaga Pendidikan dan Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Tingkat kemajuan pendidikan suatu bangsa dapat mencerminkan tingkat kemajuan suatu negara, hal ini dimungkinkan karena pendidikan masih diyakini sebagai mesin pencetak intelektual anak bangsa yang handal dan cerdas, ilmiah dan bertanggungjjawab dan juga dengan pendidikan dapat meningkatkan sosial-ekonomi dimasyarakat, serta dapat mengeluarkan kita dari kemiskinan.
Bagaimanakah pendidikan dapat berjalan efektif? Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang didalamnya melibatkan banyak orang, diantaranya peserta didik, pendidik, keluarga dan sosial masyarakat. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami apa yang mempengaruhi efektifitas pendidikan, terutama terhadap pendidikan anak sebagai peserta didik.
Dalam membentuk pendidikan anak ada 3 (tiga) peran utama yang mempengaruhi, yaitu; peran keluarga, peran sekolah sebagai lembaga pendidikan, dan sosial masyarakat. Dalam hal ini dikenal dengan Tripusat Pendidikan.
Pada lingkup keluarga peran orang tua terhadap pendidikan masih sangat dominan, orang tua yang melatih dan memberi petunjuk tentang berbagai aspek kehidupan, sampai anak menjadi dewasa dan mandiri. Dahulu pada masyarakat tradisional, kehidupan dan masa depan anak tidak jauh berbeda dengan kehidupan orang tuanya.
Tetapi pada masyarakat modern saat ini, pendidikan yang semula menjadi dominasi dan tanggung jawab keluarga, kini mulai diambil alih oleh sekolah atau lembaga pendidikan baik yang formal, informal maupun non formal. Otoritas orang tua dibagi dengan orang lain disekolah terutama guru atau wali kelas.
Dalam iklim keterbukaan dan masyarakat demokratis sekarang membawa perubahan sifat hubungan orang tua dengan anaknya dikeluarga. Dan juga perubahan hubungan guru dengan siswanya disekolah, serta perubahan tingkah laku anak dimasyarakat. Dengan kata lain terdapat peran yang saling mempengaruhi diantara ketiganya “Tripusat Pendidikan” .
Karena hal diatas maka disusunlah makalah ini dengan judul: PERAN KELUARGA, LEMBAGA PENDIDIKAN DAN SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PENDIDIKAN ANAK.

1.2. RUMUSAN MASALAH
Anak sebagai generasi penerus bangsa adalah penting untuk memperhatikan pendidikan mereka. Adalah tanggungjawab semua pihak dalam mengawal dan mengawasi proses pendidikan mereka agar berjalan dengan baik, lancar dan bergerak menuju cita-cita bersama yang tertuang dalam tujuan pendidikan.
Oleh karena itu dari permasalahan diatas didapat rumusan berikut;
1. Bagaimana peran keluarga terutama orang tua dalam pendidikan anak
2. Sejauh mana peran sekolah sebagai lembaga pendidikan membina dan mencetak anak-anak yang siap untuk menjadi pemangku estafet penerus bangsa
3. Dan peran serta sosial masyarakat dalam mengawasi dan keterlibatannya dalam proses pendidikan anak.

BAB II
PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dibahas tentang rumusan masalah yang ada, yaitu peran keluarga, peran lembaga pendidikan dan sosial masyarakat ;

2.1. PERAN KELUARGA
2.1.1. PERAN ORANG TUA DALAM KELUARGA
Peran orang tua dikeluarga bagi pendidikan anak adalah memberikan dasar pendidikan, sikap dan keterampilan dasar seperti; pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan. (Idris dan Jamal; 1992)
Dr. M. J. Langeveld, mengemukakan bahwa pendidikan merupakan salah satu kewajiban pertama bagi orang tua, dan negara menyediakan alat yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban orang tua terhadap anak.
Hal diatas menjelaskan tentang tanggung jawab oarng tua dalam menanamkan dasar-dasar sikap dan prilaku anak yang baik sebagai dasar pendidikan anak sebelum di berikan kepada orang lain dalam baik dalam sekolah sebagai lembaga pendidikan atau sosial masyarakat. Atau tahapan pendidikan prasekolah.
Orang tua harus mengetahui dan memahami perkembangan anak, yang meliputi segala aspek kehidupan yang mereka jalani baik bersifat fisik maupun non fisik. Beberapa teori perkembangan manusia telah mengungkapkan bahwa manusia telah tumbuh dan berkembang dari masa bayi ke masa dewasa melalui beberapa langkah/jenjang.

2.1.2. KELUARGA SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN KARAKTER ANAK
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan anak dan perkembangannya. Menurut Resolusi Mejelis Umum PBB, fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mengsosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan pribadi dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluargha sejahtera.
Dalam keluarga harus diefektifkan fungsi departemen kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Tanamkan dalam diri mereka kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan menguasai kemampuan-kemampuan dasar. Jangan tidak atau gagal, karena jika demikian maka akan sulit sekali bagi institusi lain untuk memperbaiki kegagalannya. Karena kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya anak atau masyarakat yang berkarakter buruk atau tidak berkarakter. Oelh karena itu setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak dirumah.

2.1.3. PEMBINAAN KARAKTER ANAK
Mengasuh adalah mendidik dan memelihara anak, mengurus makan, minum, pakaian dan keberhasilannya dari periode awal hingga dewasa.
Berbagai pola asuh orang tua dapat mempengaruhi kreatifitas anak, antara lain; lingkungan fisik, lingkungan sosial, pendidikan internal dan eksternal. Intensitas kebutuhan anak mendapat bantuan dari orang tua bagi kepemilikan dan pengembangan dasar-dasar kreatifitas diri, menunjukkan adanya kebutuhan internal, yaitu manakala anak masih membutuhkan banyak bantuan dari orang tua untuk memiliki dan mengembanghkan dasar-dasar kreatifitas diri (berdasarkan naluri, nalar dan kata hati).
Dari hasil penelitian, bahwa bila orang tua berperan dalam pendidikan, anak-anak menunjukkan peningkatan prestasi belajar, diikuti dengan perbaikan sikap, stabilitas sosio-emosional, kedisiplinan serta aspirasi anak untuk belajar sampai jenjang paling tinggi, bahkan akan membantu anak ketika ia telah bekerja dan berkeluarga.

2.1.4. POLA ASUH
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebijakan pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, serta norma-norma yang berlaku di masyarakat, agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya.
Beberapa macam contoh pola asuh:
1). Pola Asuh Otoriter, mempunyai ciri-ciri:
– kekuasaan orang tua dominan
– anak tidak diakui sebagai pribadi
– kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat
– orang tua menghukum anak jika tidak patuh

2). Pola Asuh Demokratis, mempunyai ciri-ciri:
– kerjasama antara orang tua dan anak
– anak diakui sebagai pribadi
– ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua
– kontrol orang tua tidak kaku

3). Pola Asuh Permisif, mempunyai ciri-ciri:
– dominasi oleh anak
– sikap longgar atau dapat kebebasan dari orang tua
– kontrol dan perhatian orang tua sangat kurang.

Pola asuh orang tua terhadap anak memegang peranan penting dalam pembentukkan karakter anak, artinya jenis pola asuh yang diterapkan orang tua menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak.

2.1.5. KESALAHAN POLA ASUH
Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukkan karakter yang baik. Beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak dapat mempengaruhi kecerdasan emosi anak, diantaranya;
• Orang tua kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik
• Kurang meluangkan waktu untuk anak
• Orang tua bersikap kasar secara verbal, misalnya; menyindir anak, mengecilkan anak dan berkata kasar
• Bersikap kasar secara fisik, misalnya ; memukul, mencubit, atau memberikan hukuman badannya lainnya.
• Orang tua terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
• Orang tua tidak menanamkan karakter yang baik pada anak.

Dampak salah asuh diatas menimbulkan anak mempunyai masalah kepribadian atau kecerdasan emosi yang rendah, seperti ; anak menjadi tak acuh, tidak menerima persahabatan, rasa tidak percaya pada orang lain, berprilaku agresif, menjadi minder, emosi tidak stabil, selalu berpandangan negatif, dll.

2.2. PERAN SEKOLAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN
2.2.1. FUNGSI LEMBAGA PENDIDIKAN
Lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi strategis untuk mencapai
tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Berdasarkan Teori Harton dan Hunt,
lembaga pendidikan memiliki dua fungsi, yakni fungsi manifest dan fungsi laten
pendidikan.
a. Fungsi Manifest
Fungsi manifest pendidikan merupakan fungsi yang dipandang dan
diharapkan akan dipenuhi oleh lembaga itu sendiri, yaitu menyangkut:
1) Transmisi kebudayaan.
Transmisi kebudayaan masyarakat kepada anak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) Transmisi pengetahuan dan keterampilan. b) Transmisi sikap, nilai-nilai, dan norma-norma.
Pertama, transmisi pengetahuan ini mencakup tentang pengetahuan bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, penemuan-penemuan teknologi, dan lain sebagainya. Pengertian transmisi kebudayaan tidak hanya terbatas pada mengajarkan bagaimana dengan proses belajar, melainkan bagaimana menemukan sesuatu yang baru. Di sekolah, tidak hanya pengetahuan
dan keterampilan saja yang diberikan melainkan lebih dari itu, transmisi ini juga mengajarkan, mengenalkan tentang bagaimana bersikap, bagaimana apresiasi terhadap nilai dan norma sosial.
Kedua, Transmisi sikap, nilai-nilai, dan norma itu dipelajari secara formal melalui situasi formal di kelas melalui contoh-contoh isi cerita buku buku bacaan, sikap dan keteladanan guru, dan kreativitas dalam kelas. Melalui pelajaran Sosiologi misalnya, dengan mempelajari nilai dan norma yang ada di masyarakat, berarti telah terjadi transmisi kebudayaan.

2) Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
Memilih dan Mengajarkan Peranan Sosial Dalam kondisi masyarakat yang bagaimanapun bentuknya, akan mengenal adanya deferensiasi dan spesialisasi dalam pekerjaan. Perkembangan dan perubahan masyarakat yang disertai dengan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya spesialisasi dalam pekerjaan. Menghasilkan tenaga kerja yang berspesialisasi merupakan tugas dari sekolah sebagai lembaga pendidikan profesional.

3) Integrasi sosial.
Integrasi Sosial Dalam masyarakat yang kompleks dan memiliki heterogenitas dan pluralistik, integrasi sosial merupakan fungsi yang terpenting.
Bangsa kita yang terdiri dari bermacam agama, kebudayaan berbeda,
serta adat-istiadat yang berbeda pula, menuntut adanya fungsi manifest pendidikan. Dalam keadaan yang demikian, bahaya disintegrasi akan muncul setiap saat dan setiap waktu. Untuk mengukuhkan integrasi bangsa, maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut.
(a) Sekolah perlu mengajarkan bahasa nasional, yaitu bahasa
Indonesia. Dengan bahasa nasional, maka setiap orang akan berkomunikasi dan berinteraksi dengan mudah antara suku-suku yang berbeda dalam masyarakat. Dengan demikian, bahasa nasional berfungsi sebagai bahasa pemersatu bangsa.
(b) Sekolah mengajarkan pengalaman-pengalaman yang mendidik kepada peserta didik melalui pengembangan kurikulum, buku buku pelajaran, dan buku bacaan di sekolah. Pengalaman langsung akan sangat membantu peserta didik dalam meresapi arti penting pendidikan, sehingga pada gilirannya dapat diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
(c) Sekolah mengajarkan kepada peserta didik corak kepribadian nasional melalui pelajaran Sosiologi, Sejarah, Geografi Nasional,
upacara-upacara peringatan momen bersejarah, dan peringatan hari-hari besar nasional.
(d) Sekolah harus mengajarkan sikap bela negara, patriotisme, dan nasionalisme melalui pengajaran yang strategis, seperti pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Sejarah, dan pelajaran-pelajaran lain yang elevan.

4) Inovasi sosial.
Inovasi Sosial Dengan adanya pendidikan dan pelatihan melalui kegiatan
penelitian, diharapkan akan mampu menemukan sesuatu yang baru untuk pembaharuan dalam masyarakat, baik inovasi dalam lapangan dan teknologi, kemajuan ilmu pengetahuan, maupun dinamika kehidupan masyarakat. Fungsi ini akan tampak menonjol pada perguruan tinggi melalui kegiatan penelitian. Namun demikian, di kalangan peserta didik atau sekolah juga kegiatan penelitian sangat terbuka lebar dalam rangka proses inovasi sosial. Inovasi sosial tidak mengharuskan pada masalah-masalah yang besar, melainkan juga dapat dilakukan terhadap masalah-masalah yang konkret, yang ada dalam lingkungan sekitar kita.

5) Perkembangan kepribadian anak.
Perkembangan Kepribadian Anak Pendidikan sekolah tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan mempengaruhi perkembangan intelek anak saja, melainkan juga harus memperhatikan perkembangan watak anak melalui latihan kebiasaan dan tata tertib, pendidikan agama, dan budi pekerti. Kepribadian anak dapat dibangun melalui lembaga pendidikan. Hal demikian diperlukan mengingat anak atau peserta didik merupakan individu yang sedang berkembang, sehingga perlu ada pengendali atau pengarahan dari orang lain. Tanpa adanya arahan yang baik, maka perkembangan kepribadian anak tidak akan normal

6) Memberi landasan penilaian dan pemahaman status relatif.
Memberi Landasan Penilaian dan Pemahaman Status Relatif untuk melakukan suatu interaksi, individu harus menempatkan diri pada suatu posisi tertentu dalam masyarakat. Dalam setiap pergaulan, agar seseorang dapat menempati posisinya, ia harus memiliki landasan penilaian dan pemahaman tentang status atau kedudukan anggota masyarakat yang ada. Misalnya, seseorang yang akan mengadakan penyuluhan terhadap masyarakat setidaknya harus memahami siapa yang dihadapinya, apakah pelajar, mahasiswa, pegawai, pejabat negara, pedagang, atau petani.. Tumbuhnya penyesuaian diri ini disebabkan oleh keinginan anggota masyarakat untuk saling mempengaruhi. Seseorang yang memiliki pemikiran yang luas, ia akan menyadari bahwa pemenuhan kebutuhan dirinya tidak
dapat dipenuhi sendiri melainkan dipengaruhi oleh orang lain yang ada di sekelilinginya. Dengan memahami posisi dirinya dalam masyarakat, maka manusia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Fungsi manifest ini merupakan fungsi langsung yang tampak dan dapat dirasakan kegunaannya oleh masyarakat. Beberapa fungsi manifest ini dapat dilihat pada:
a) Membantu orang untuk mempertahankan kehidupannya.
b) Menjadikan orang mampu mengembangkan potensinya, baik dalam rangka membangun dirinya maupun masyarakat.
c) Melestarikan kebudayaan melalui regenerasi.
d) Mengembangkan pola pikir rasional.
e) Mengembangkan sikap kritis dan tanggap terhadap situasi.
f) Membangun sikap demokratis.
g) Membangun intelektual dan mentalitas.
h) Membangun kemampuan adaptasi.
i) Menumbuhkan sikap nasionalisme.
j) Memupuk rasa persatuan dan kesatuan.
k) Membentuk integritas dan kepribadian.

2.3. PERAN SOSIAL MASYARAKAT
Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua, dan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Sekarang hampir semua sekolah telah mempunyai komite sekolah yang merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah, sebab masyarakat dari berbagai lapisan sosial ekonomi sudah sadar betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan pembelajaran di sekolah.
Sebetulnya banyak sekali jenis-jenis dukungan masyarakat pada sekolah. Namun sampai sekarang dukungan tersebut lebih banyak pada bidang fisik dan materi, seperti membantu pembangunan gedung, merehab sekolah, memperbaiki genting, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat membantu dalam bidang teknis edukatif antara lain menjadi guru bantu, sumber informasi lain, guru pengganti, mengajar kebudayaan setempat, ketrampilan tertentu, atau sebagai pengajar tradisi tertentu. Namun demikian, hal tersebut belumlah terwujud karena berbagai alasan.
Pada dasarnya masyarakat baik yang mampu maupun yang tidak mampu, golongan atas, menengah maupun yang bawah, memiliki potensi yang sama dalam membantu sekolah yang memberikan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Akan tetapi hal ini bergantung pada bagaimana cara sekolah mendekati masyarakat tersebut. Oleh karena itu, sekolah harus memahami cara mendorong peran serta masyarakat agar mereka mau membantu sekolah.

2.3.1. PERLUNYA PERAN SERTA MASYARAKAT (PSM)
Mengapa PSM itu perlu?
• Pendidikan adalah tanggungjawab bersama keluarga, masyarakat, dan negara;
• Keluarga bertanggungjawab untuk mendidik moralitas/agama, menyekolahkan anaknya, serta membiayai keperluan pendidikan anaknya;
• Anak berada di sekolah antara 6-9 jam, selebihnya berada di luar sekolah (rumah dan lingkungannya). Dengan demikian, tugas keluarga amat penting untuk menjaga dan mendidik anaknya;
• Pendidikan adalah investasi masa depan anak. Oleh karena itu, memerlukan biaya, tenaga dan perhatian. Keberatankah orang tua membayar SPP yang sifatnya bulanan, sedang mereka saja tidak berat untuk membeli rokok setiap hari? Mungkinkah anak menjadi pandai tanpa biaya? Harusnya kita sadar, kita sedang memasuki era globalisasi, dan jika anak kita tidak terdidik, kita akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
• Anak perempuan perlu mendapat pendidikan setinggi anak laki-laki mengingat mereka akan menjadi ibu dari bayi-bayinya. Ibu lebih dekat kepada anak dan mendidik anak perlu pengetahuan yang memadai agar anak tidak salah asuhan/didik;
• Masyarakat berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan dan mendukung pendidikan yang baik. Kewajiban mereka tidak sebatas pada bantuan dana, lebih dari itu juga pemikiran dan gagasan;
• Pemerintah berkewajiban membuat gedung sekolah, menyediakan tenaga/guru, melakukan standarisasi kurikulum, menjamin kualitas buku paket, alat peraga, dan lain sebagainya. Karena kemampuan pemerintah terbatas, maka peran serta masyarakat sangat diperlukan;
• Kemampuan pemerintah terbatas sehingga mungkin tidak mampu untuk mengetahui secara rinci nuansa perbedaan di masyarakat yang berpengaruh pada bidang pendidikan. Jadi masyarakat berkewajiban membantu penyelenggaraan pendidikan;
• Masyarakat dapat terlibat dalam memberikan bantuan dana, pembuatan gedung, lokal, pagar, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat terlibat dalam bidang teknis edukatif.
• Idealnya sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah dan juga kepada masyarakat sekitarnya;
• Bantuan teknis edukatif juga sangat mungkin diberikan, seperti: menyediakan diri menjadi tenaga pengajar, membantu anak berkesulitan membaca, menentukan dan memelihara guru baru yang mempunyai kualifikasi, serta membicarakan pelaksanaan kurikulum dan kemajuan belajar.

2.3.2. JENIS- JENIS PSM
Ada bermacam-macam tingkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Peran serta tersebut dapat diklasifikasikan dalam 7 tingkatan, yang dimulai dari tingkat terendah ke tingkat tertinggi. Tingkatan tersebut terinci sebagai berikut:
1. Peran serta dengan menggunakan jasa yang tersedia. Jenis PSM ini merupakan jenis paling umum. Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan memasukkan anak ke sekolah;
2. Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang dan atau tenaga;
3. Peran serta secara pasif. Artinya menyetujui dan menerima apa yang diputuskan oleh sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orangtua menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya;
4. Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya;
5. Peran serta dalam pelayanan. Orang tua/masyarakat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua ikut membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya;
6. Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang didelegasikan/dilimpahkan. Misalnya, sekolah meminta orangtua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, masalah gender, gizi dan lain sebagainya.
7. Peran serta dalam pengambilan keputusan. orangtua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan (baik akademis maupun non akademis) dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam rencana pengembangan sekolah.

2.3.3. PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH
Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah; Pemberdayaan Komite Sekolah sebagi Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan “Komite sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”. (Pasal 56, ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003)
Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu.
Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan (supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.
Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dsalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan.
Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder.
Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat.
Perlu juga difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Adalah keliru jika DP dan KS adalah alat untuk “penarikan iuran”, karena “penarikan iuran” yang dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggungjawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi Dewan dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita akhiri, dan dengan MBS, dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk keberhasilan pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran” bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung di sekolah-sekolah.
Pemberdayaan Komite Sekolah Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentraliasasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika kantor cabang dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai failitator dalam proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Hal ini disebabkan karena proses interaksi edukatif di sekolah merupakan inti dari proses pendidikan yang sebenarnya. Oleh karena itu, bentuk desentralisasi pendidikan yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Amanat rakyat ini sejalan dengan konsepsi desentralisasi pendidikan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat sekolah. Amanat rakyat dalam undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah (1) sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah
Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orangtua dan masyarakat, menciptakan suasa kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya maka paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan bersama. Dengan demikian, prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan, dan hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management, melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat.
Pertama, Penyusunan Rencana dan Program; sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan, sekolah bertanggungjawab dalam menentukan kebijakan sekolah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan sesuai dengan arah kebijakan pendidikan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggara dan pelaksana kebijakan pendidikan nasional, sekolah-sekolah bertugas untuk menjabarkan kebijakan pendidikan nasional menjadi program-program operasional penyelenggaraan pendidikan di masing-masing sekolah. Program-program tersebut terdiri dari penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan mingguan, bulanan, semesteran serta tahunan yang sesuai dengan arah kebijakan serta kurikulum yang telah ditetapkan baik pada tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Setiap rencana dan program yang disusun serta dilaksanakan di sekolah harus mengacu pada standar pelayanan minimum (SPM) yang diterapkan untuk pemerintahan kabupaten/kota serta standar teknis yang diterapkan untuk masing-masing satuan pendidikan. Untuk dapat memerankan fungsi ini, Komite Sekolah menjadi “pendamping” bahkan “penyeimbang” bagi sekolah-sekolah, sehingga setiap rencana dan program yang disusun oleh sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh Komite sekolah dimaksud. Atas nama masyarakat yang diwakilinya, Komite Sekolah dapat menyatakan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap rencana dan program pendidikan yang disusun oleh sekolah.
Selain melaksanakan kurikulum yang telah ditetapkan dari pusat, propinsi dan kabupaten.kota, sekolah-sekolah dapat juga menyusun program pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam penyusunan program pendidikan “life skills”, Komite Sekolah dapat membantu sekolah-sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan serta potensi sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat untuk diterjemahkan ke dalam program pendidikan “life skills” yang dapat dilaksanakan oleh sekolah. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui rapat Komite Sekolah dengan sekolah yang dilaksanakan setiap semester atau tahunan, untuk menyusun, memperbaiki serta menyesuaikan rencana dan program untuk semester berikutnya.
Kedua, Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS); dalam fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom, sekolah berperan dalam menyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan dalam tahun ajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu semester atau satu tahun ajaran kedepan perlu dituangkan ke dalam kegiatan-kegiatan serta anggarannya masing-masing sesuai dengn pos-pos pengeluaran pendidikan di tingkat sekolah. Dari sisi pendapatan, seluruh jenis dan sumber pendapatan yang diperoleh sekolah setiap tahun harus dituangkan dalam RAPBS, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kecamatan, maupun sumber-sumber lain yang diperoleh secara langsung oleh sekolah-sekolah. Dengan demikian, setiap rupiah yang diperoleh sekolah dari sumber-sumber tersebut harus sepenuhnya diperhitungkan sebagai pendapatan resmi sekolah dan diketahui bersama baik oleh pihak sekolah (kepala sekolah, guru-guru, pegawai, serta para siswa) maupun oleh Komite Sekolah sebagai wakil stakeholder pendidikan.
Dari sisi belanja sekolah, seluruh jenis pengeluaran untuk kegiatan pendidikan di sekolah harus diketahui bersama baik oleh pihak sekolah maupun oleh pihak Komite Sekolah, sesuai dengan rencana dan program yang telah disusun bersama oleh kedua pihak tersebut. Kedua sisi anggaran tersebut dituangkan ke dalam suatu neraca tahunan sekolah yang disebut dengan RAPBS yang harus disyahkan atas dasar persetujuan bersama antara pihak sekolah dan Komite Sekolah yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah, sehingga menjadi APBS pendidikan di tingkat sekolah yang resmi. Mekanisme ini diperlukan untuk memperkecil penyalahgunaan baik dalam pendapatan maupun dalam pengeluaran sekolah, sehingga anggaran resmi pendidikan di sekolah menjadi bertambah serta pendayagunaannya semakin efisien.
Ketiga, pelaksanaan program pendidikan; sistem pendidikan pada masa orde baru, pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi dengan mata rantai yang panjang sejak tingkat pusat, daerah bahkan sampai tingkat satuan pendidikan. Pada waktu itu sekolah-sekolah adalah bagian dari sistem birokrasi yang haru tunduk terhadap ketentuan birokrasi. Pengaturan penyelenggaraan pendidikan pada masa birokrasi dilakukan secara uniform (one fits for all) atau dilakukan secara baku dengan pangaturan dari pusat, sejak perencanaan pendidikan, pelaksanaan pendidikan di sekolah termasuk persiapan mengajar, metodologi dan pendekatan mengajar, buku dan sarana pendidikan, sampai kepada penilaian pendidikan.
Dengan kata lain, kepada sekolah-sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri dalam pelaksanaan pendidikan. Kepala sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan mereka sendiri dalam mengelola sistem pendidikan untuk memecahkan berbagai permasalahan pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolahnya masing-masing. Kepada guru-guru juga tidak diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau berinovasi dalam melaksanakan pengajaran atau mengelola kegiatan belajar murid secara maksimal karena metoda mengajar dan teknik evaluasi juga diatur secara langsung melalui juklak dan juknis yang dibuat dari pusat.
Dalam masa desentralisasi pendidikan ke depan, melalui paradigma MBS sekolah-sekolah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendikdikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah dalam tempat yang berlainan dimungkinkan untuk menggunakan sistem dan pendekatan pembelajaran yang berlainan. Kepala sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumberdaya pendidikan sendiri-sendiri asalkan sesuai dengan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pusat. Oleh karena karakteristik setiap murid juga berbeda-beda secara individual, maka pendekatan pembelajaran juga dimungkinkan berbeda untuk masing-masing murid yang berlainan.
Dalam keadaan seperti itu, maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah akan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang sejalan dengan kondisi dan permasalahan lingkungan masing-masing sekolah. Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai partner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumberdaya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitasi bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak munghkin, sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite Sekolah bisa ikut serta untuk meneliti dan berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara individual sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya.
Dewan Pendidikan pada setiap Kabupaten/Kota dapat melaksanakan program pendukungan dalam bentuk studi atau penelitian terhadap berbagai permasalahan pendidikan di sekolah-sekolah agar dapat memberikan masukan kepada Dinas Kabupaten/Kota untuk menerapkan suatu kebijakan yang tepat dan kena sasaran. Dewan Pendidikan juga dapat memberikan penilaian kepada berbagai kebijakan pendidikan yang diterapkan terutama menyangkut berbagai dampak yang sudah atau mungkin terjadi dalam penerapaan suatu kebijakan baru.
Keempat, akuntabilitas pendidikan, dalam masa orde baru, satu-satunya pihak yang berwenang untuk meminta pertanggungjawaban pendidikan ke sekolah-sekolah adalah pemerintah pusat. Pada waktu itu, pemerintah pusat telah menempatkan “kaki tangan”nya di seluruh pelosok tanah air melalui pemeriksa, pengawas atau para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta pertanggungjawaban sekolah-sekolah menganai proses pendidikan yang berkangsung di sekolah-sekolah. Jika terdapat “penyimpangan adminisgtratif” yang dilakukan oleh kepala sekolah atau guru-guru, maka kepada mereka diberikan sanksi administratif, seperti teguran resmi, penilaian melalui DPK, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat dsan sejenisnya. Namun, penilalaian tersebut lebih banyak diberikan terhadap proses administrasi pendidikan dan hampir tidak pernah ada sanksi (punishment) atau “ganjaran” (rewards) kepada guru-guru atau kepala sekolah atas dasar hasil-hasil yang dicapai dalam pembelajaran murid atau lulusan.
Dalam era demokrasi dan partisipasi, akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi bahkan harus lebih banyak pada masyarakat sebagai stakeholder pendidikan.
Dewan Pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota perlu menempatkan fungsinya sebagai wakil dari masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban atas hasil-hasil pendidikan dalam mencapai prestasi belajar murid-murid pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dewan Pendidikan perlu diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan bahkan “protes” kepada Dinas Pendidikan jika hasil-hasil pendidikannya tidak memuaskan masyarakat sebagai klien pendidikan. Sama halnya, Komite Sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan para orangtua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh suatu sekolah. Dewan Pendidikan atau Komite Sekolah tidak perlu melaksanakan kegiatan studi atau penilaian pendidikan, tetapi cukup dengan menggunakan data-data yang tersedia atau hasil-hasil penilaian yang sudah ada sebagai bahan untuk menyampaikan kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap Dinas Pendidikan atau kepada masing-masing sekolah. Dengan demikian, diperlukan suatu mekanisme akuntabilitas pendidikan yang dibentuk melalui suatu Peraturan Daerah di bidang pendidikan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. KESIMPULAN
Pendidikan anak adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua, dan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Kontribusi dalam perannya masing-masing harus serasi dan harmonis. Ketiga nya di kenal dengan tripusat pendidikan.
Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus mendapatkan pembinaan dan pendidikan yang layak, pemerintah harus memberikan fasilitas pendidikan kepada warga negaranya dengan harga yang terjangkau atau gratis, orang tua dalam keluarga mempersiapkan anak-anaknya untuk pendidikan pra sekolah sebagai dasar untuk memasuki lingkungan sekolah dan juga lingkungan diluar sekolah atau masayarakat. Pola asuh dalam keluarga sangat menentukan sikap mental dan karakter anak selanjutnya.
Peran Serta Masyarakat (PSM) dalam pendidikan sangat erat berkaitan dengan pengubahan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan. Banyak jenis-jenis peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan, diantaranya; keterlibatan dalam komite sekolah, memberikan kontribusi dana, bahan dan tenaga, dan sebagainya.

3.2. SARAN
Dalam menjalankan keharmonisan dan keselarasan tripusat pendidikan, harus bebas dari segala aspek yang dapat menggangu merusak keadaan, seperti kepentingan tertentu, sikap egoisme pribadi atau golongan, ras suka dan agama, bahkan kepentingan politik sekalipun.
Fokus pada tujuan yang sama dan kesepakatan awal yaitu demi peningkatan dan kemajuan pendidikan secara umum, dan pendidikan anak secara khusus.

Tinggalkan komentar